Tuesday 8 September 2009

Setangkai Mawar Kuning Di Harimu Yang Tak Bersahaja Lagi

Inilah yang ingin kusampaikan pada sebuah jiwa yang merajai hidupku selama tujuh musim.
"Rasanya aku harus memberimu dua puluh dua tangkai mawar merah. Di saat yang sama kedua orang tuamu memasak tumpeng dan menaruh kopi pahit serta kembang tujuh rupa pada empat penjuru. Pada malam yang sakral ketika letihku memudar dan jiwaku menyatu dalam cahaya gemintang.

Mawar merah, dua lusin kurang dua, telah terangkai indah dalam genggamanku. Ada keharuman tersendiri jika saja bisa kau rasakan. Tapi semua berlalu karena angkuhmu merengkuh. Kebahagiaan yang sempat meretas terlambung dalam sia. Kau bahkan tak mengerling.

Diakah yang membuat senyummu tertaut di sana. Pada tebing rapuh tempat kau tambatkan asa ku yang kukira tuk selamanya. Mawar merah yang merekah dalam jemariku, rontok tinggal duri yang tertancap dalam daging. Sakitkah? Bahkan tanya itu tak pernah terlontar. Semua hanya tentang waktu. Bukankah itu yang selama ini menjadi tonggakmu berdiri, WAKTU.

Sadarkah Sayang, bahwa waktu punya kawan yaitu BOM. Kau baca apa, Dears? BOM WAKTU."

Inilah yang kubawakan bersama untaian kelopak cinta. Ups, jangan kau harap ada merah dalam iringan harimu yang tak lagi menebar sahaja.

0 comments: