Sunday 28 June 2009

Surat Cinta Untuk Ayah

Hari ini sangat istimewa untukku. Hari wisuda pertamaku, setelah perjuangan panjang di perguruan tinggi. Tentu saja Ayah seharusnya mengerti bahwa perjuangan yang kumaksud tidak hanya sebatas belajar, tetapi juga aku harus mencari tambahan uang untuk biaya kuliahku.

Dan setelah sekarang aku menyandang gelar sarjana, kau pastilah bangga. Kau memelukku dan tersenyum. Kau pun mengatakan bahwa kau bangga memilikiku dalam hidupmu. Tentu saja, aku telah bertekad takkan membuatmu kecewa, karena aku mencintaimu. Semua karena cinta.

Tapi benarkah Ayah mencintaiku? Kalau iya, mengapa semua pelukmu, senyum banggamu, hanya ada dalam anganku? Mengapa kau tak hadir saat ini di sisiku? Bukan hanya di hari wisudaku, tapi di semua hariku selama sepuluh tahun ini. Kau tak menyaksikan di saat aku menerima piagam penghargaan dan beasiswa sebagai siswa berprestasi di SMP. Kau tak hadir di saat aku menerima piala Siswa Teladan di SMU. Kau bahkan tak memberiku ucapan selamat saat aku lulus UMPTN.

Aku seringkali merasa iri pada teman-temanku. Mereka yang asal naik kelas saja dapat hadiah istimewa dari ayah mereka. Sedangkan aku, Sang Juara tak mendapatkan apapun darimu bahkan sepotong senyum pun tidak.

Sampai sekarang aku bingung. Apa yang membuatmu meninggalkan kami. Seingatku, kami tak pernah membuatmu marah. Kau pun tak pernah marah. Yang kuingat, kau selalu memanjakanku. Apapun yang kuminta, selalu berusaha kau penuhi. Lalu apa alasan kau pergi?
Malam itu kau berpamitan pada bunda seperti biasa, untuk bekerja. Bahkan kau berjanji kembali besok dengan membawa uang yang cukup untuk biaya pendaftaran ulang sekolah kakak. Tak ada yang aneh, tak ada yang membuat kami curiga, tak ada tanda bahwa kau pergi tak akan kembali.

Tapi nyatanya, kau hilang bagai asap. Ada kabar bahwa kau menikah lagi. Bertahun-tahun aku mempercayai kabar itu dan merasa marah. Aku marah karena kau mengkhianati cinta bunda, cinta kami. Kulalui hari-hariku dengan kemarahan yang membengkak, dengan kekecewaan yang mengoyak. Untunglah ada bunda yang selalu meniupkan semangat ke dalam kisi-kisi batinku, yang setia menguatkanku untuk tetap melangkah sekalipun di jalan panas berduri.

Ayah...
Ketika aku menulis catatan hatiku ini, Sang Waktu telah melahap semua amarah, sedih, dan rasa kecewaku. Tapi ternyata waktu tak sanggup untuk menghapus cintaku padamu. Aku memaafkanmu sekalipun kau tak pernah meminta. Aku masih berharap bertemu denganmu, sekalipun aku telah kau buang dari hatimu.


Wednesday 24 June 2009

Pernahkah Kau Merasa Hatimu Hampa?

"Pernahkah kau merasa hatimu hampa?" Sepenggal lirik lagu 'Hampa Hatiku' dari band Ungu tersebut mengalun dari speaker komputerku. Rasanya pertanyaan itu ditujukan padaku. Dan kujawab, Ya. Aku sering merasa hatiku hampa. Begitupun saat ini.

Tiap kali aku mengantarnya pulang dan menatap langkah-langkahnya hingga bayangnya tak lagi tampak, perasaanku tiba-tiba berubah hampa. Hanya keyakinan bahwa ia pasti kembalilah, yang membuatku tetap bertahan menanti.

Apakah ini yang disebut Cinta? Ataukah hanya egoku yang berlebihan? Salahkah bila aku ingin ia berada di sisiku selamanya. Dan selamanya berarti waktu yang sangat panjang, tak berbatas.

Apakah di antara teman-teman ada yang merasakan hubungan jarak jauh seperti yang kurasakan saat ini? Hanya berkomunikasi melalui sms, email dan telepon tak pernah cukup. Aku tak bisa menatap matanya. Aku tak bisa membaca mimiknya. Bagaimana aku tahu bahwa dia tidak sedang berbohong?

Kecemburuan sering mencuat dari hatiku yang gusar. Sulitnya menjalin cinta jarak jauh terutama ketika ada masalah. Aku tipe orang yang ingin menyelesaikan masalah secepat mungkin. Kalau dia marah, misalnya, aku inginnya segera menemui langsung, bicara empat mata, baru aku bisa tenang. Sementara dia seringkali menonaktifkan HP nya jika sedang marah. Uhhh, betapa menyebalkannya. Rasanya aku jadi ingin punya pintu ajaib Doraemon.

Satu yang kubanggakan adalah. Cinta kami yang mampu bertahan hingga tiga tahun ini. Betapa banyaknya kekasih yang saling bertemu setiap hari, tetapi hubungan mereka tak bertahan lama. Yah, aku sekarang belajar untuk menguatkan keyakinanku, pada Tuhan tentunya, karena hanya Dia-lah yang mampu menjaga cinta ini.

Cintaku Sejati Meski Kau Tak Nyata


Cinta adalah bunga yang tumbuh tanpa bantuan musim, begitulah Kahlil Gibran menggambarkan keanggunan dan keunikan cinta. Seperti catatan hati seorang sobat miss purple ini.

Teman-temanku banyak yang tidak percaya, ketika aku mengatakan pada mereka bahwa aku sedang jatuh cinta pada teman chating yang tak pernah kutemui. Sebagian dari mereka menasehati agar aku berhati-hati, karena aku hanya mengenalnya lewat barisan kata-kata. Ketika itu friendster dan facebook belum lahir di dunia maya.

Namun aku mempercayainya. Aku yakin bahwa dia orang baik-baik dan semua yang diceritakannya padaku adalah apa adanya, tanpa rekayasa. Aku merasa nyaman bisa berbagi cerita dan pengalaman dengannya. Bahkan, aku lebih terbuka padanya daripada pada teman-temanku di 'dunia nyata'.

Aku tak pernah mengungkapkan perasaaanku kepadanya secara eksplisit. Aku takut tak berbalas. Cinta adalah hal yang rumit dan menyimpan hal serumit itu dalam hati mungkin saja bisa membuatku sakit. Tapi yang terjadi padaku justru sebaliknya, aku merasa bersemangat setiap harinya. Kusematkan cinta ini dalam untaian puisiku untuknya. Apakah dia mengerti? Semoga saja.

Aku berharap, aku bermimpi, aku berangan-angan suatu saat dia hadir dalam dunia nyataku. Tak terhitung berapa kali kami janjian bertemu, tapi entah kenapa semuanya gagal. Namun aku yakin bahwa rencana Tuhan selalu berakhir indah. Harapan adalah harta termewah yang kumiliki, karenanya kujaga harapan ini tetap bersinar.

Hingga detik ini, tujuh tahun berlalu sejak perkenalan, kami belum pernah bertatap muka secara langsung. Meski demikian, hubungan kami di dunia maya tetap berlanjut.

Beberapa waktu yang lalu, aku melihat profilnya di Facebook. Ada beberapa fotonya bersanding dengan seorang perempuan cantik. Oh, siapakah perempuan beruntung itu yang dipilihnya sebagai kekasih hati? Aku cemburu, tentu saja. Namun yang dapat kulakukan hanyalah menelan realita sepahit apapun itu.

Dan cinta yang telah merekah ini, haruskah kuremukkan dalam jemariku? Atau kubiarkan ia tetap utuh bersama detak nadiku?



Sunday 21 June 2009

Cukupkah Sebentuk Cinta Meyakinkanku untuk Menikah?

Usiaku sudah cukup matang. Aku pun telah memiliki pekerjaan yang layak, begitu pun dengan kekasihku. Orang tua kami sudah saling mengenal. Hampir semua rekan dan kerabat menyarankan agar aku segera menikah. Menikah itu ga sulit kok... Urusan pesta, tinggal call Wedding Organizer, beres!!!

Tapi, siapkah aku menikah?

Pertanyaan itu terus menghantuiku. Ada keinginan yang begitu besar untuk segera saja melangkahkan kaki menuju gerbang cinta yang suci dan diridhoi oleh Tuhan. Tetapi sebersit ragu terus mengusik, terkadang membuat langkahku menjadi sempoyongan. Aku seolah tak mampu dengan tegas mengatakan, "Ya, saya siap!"

Apa yang salah denganku. Apakah karena kehidupan single ku yang nyaman, membuatku merinding memikirkan bahwa semuanya akan berubah? Ya, aku cukup nyaman dengan rutinitasku sekarang. Dari Senin sampai Jumat, aku bekerja di sebuah instansi pemerintah. Jam 5 sore aku sudah pulang, beristirahat, dan bisa melakukan segenap hobiku, membaca komik, ngeblog, buka facebook atau menonton film sampai larut malam. Aku pun tak punya kewajiban memasak. Kalau lagi capek, tinggal beli di warung sebelah. Kalau lagi pengen pizza, tinggal kring, pesan, dan diantar dech.

Sabtu Minggu adalah saat yang tepat buat merefresh stamina dan pikiranku. Shopping atau sekedar cuci mata adalah hal yang sungguh tak bisa kulepaskan. Berjam-jam di gramedia pun aku betah. Aku bebas dunk membelanjakan uangku sendiri.

Live is really easy...

Tapi bagaimana jika seseorang tiba-tiba hadir dalam hari-hariku. Kubayangkan aku akan semakin sibuk. Mulai dari menyiapkan baju untuk suami tiap pagi dan petang. Mencuci dan menyetrika baju jadi tambah banyak. Belum lagi harus masak, minimal menyediakan makanan yang dimakan. Lalu, jika dia tidak menyukai masakanku, akankah dia tetap bisa menghargainya?

Lalu, kapan aku punya waktu istirahat? Masih layakkah aku santai-santai baca komik? Masih adakah waktu yang tersisa untuk mengurus blog-blogku yang bertebaran di dunia maya? Akankah suamiku kelak mengizinkanku chatting dengan teman-temanku? Atau akan marahkah dia jika aku ketahuan bermain-main Pet Society di Facebook? Bagaimana jika suamiku minta dipijit tiap pulang kerja, sementara aku sendiri merasa letih? Dan lagi, masih bisakah aku dengan bebas berburu buku di toko buku?

Live is going to be hard

"Aku mencintainya. Aku tak ingin melepaskannya. Sudah saatnya aku menerimanya dalam kehidupanku." Berulang-ulang aku mengucapkannya dalam hati. Berusaha menyingkirkan rasa ragu dan terus bercokol. Oh, Tuhan...mengapa cinta yang Engkau semaikan dalam hatiku, tak jua membimbingku, tak cukup meneguhkan jiwaku...