Saturday 1 August 2009

Aku, Mama dan Kamar Kos Dua Kali Tiga Meter

Kupikir, Bude terlalu membesar-besarkan masalah. Memang, apa salahnya kalau mama ikut ke Jogja denganku? Aku dan mama telah berjanji untuk selalu bersama, seburuk apapun keadaannya. Aku terpaksa berpura-pura menangis, agar Bude mau merelakan mama pergi.

Aku tak yakin bisa belajar dengan tenang di Jogja sementara di Pemalang, mama sendirian, siapa yang akan menjadi tempatnya berbagi? Aku tahu persis bagaimana watak Bude dan Bulikku, sehingga terlalu berat meninggalkan mama dengan keduanya.

Resiko akan diejek ‘Anak Mami’ oleh teman-temanku nanti tak pernah kuanggap serius. Aku tergolong cuek buat masalah-masalah sesepele itu. Apa artinya ejekan ‘Anak Mami’ kalau selama bertahun-tahun aku telah menanggung sindiran, cemooh, dan perlakuan yang lebih berat dari itu. Hidup tanpa ayah bukan hal yang mudah. Tak ada surat cerai, tak ada nisan, tapi aku bahkan tak bisa melihat batang hidungnya, atau sekedar mendengar suaranya. Jadi dimana dia? Yang kumiliki hanya kenangan tentangnya lewat lusinan foto-foto keluarga bahagia. Kau akan melihatku menangis hampir setiap hari sebelum aku menginjak bangku SMP, sebelum aku belajar untuk bersikap ‘tuli’,dan tentu saja sebelum hatiku beku dan air mataku kering.

Cukup Satu Mama untuk Separuh Nyawaku
Dan akankah aku hidup di sini dengan separuh nyawa saja?! Aku tak berani bertaruh. Jadi, dengan bismillah dan uang yang dikirimkan kakakku,plus gali lubang sana-sini, berangkatlah kami ke Jogja. Kami menyewa satu kamar seharga 1.800.000 pertahun. Berkat mama yang ahli melobi, kami diperkenankan membayar sewa kamar secara mencicil. Iya dong, duitnya khan mesti dibagi-bagi, apalagi daftar ulang STAN saat itu mencapai 700 ribu rupiah.

Adakah yang Pernah Ngekos Bersama Ortunya?Sekamar pula!!!
Jujur saja, ada sebersit rasa bersalah. Melihat kondisi kamar kami, ukuran dua kali tiga meter dengan satu ranjang ukuran 90x200 cm –yang seharusnya hanya untuk satu orang- kami tidur saling himpit-himpitan, dan itu terjadi selama lebih dari setahun. Mama tak pernah mengeluhkan hal ini. Kalau ada orang yang bertanya, “Ibu tidurnya dimana?Sempit begini,” mama hanya tertawa dan menjawab santai, “ye disini dong, sambil pelukan khan muat”.

Sebagai anak, aku tahu meski mama tak pernah mengungkapkannya. Pasti ada geliat kekhawatiran, ada semburat malu dan jenuh. Kukatakan pada mama, bahwa ini salahku. Namun kuyakinkan bahwa aku akan membuat roda nasib berputar. Aku akan berusaha menebus setiap tetes air mata mama yang terkuras, aku akan berlari sampai ke puncak tertinggi, mungkin sampai kakiku mati rasa dan tak lagi mengingat apa itu ‘letih’.

Satu kamar kos berdua, adalah termasuk dalam pilihan hidup. Pilihan yang disuguhkan oleh Tuhan dan yang kami pilih tak lain karena mengharap ridho-Nya. Tak pernah kusangka bahwa di kamar dua kali tiga meter inilah segalanya yang indah baru bermula. Yang tidak akan kudapatkan tanpa jantung kehidupanku, tanpa cinta mama.

Trims Cinta.

0 comments: